Selasa, 07 Desember 2010

LAKSAMANA KEUMALAHAYATI singa samudra dari Kerajaan Aceh Darussalam


1. Riwayat Hidup

Laksamana Keumalahayati merupakan wanita pertama di dunia yang pernah menjadi seorang laksamana. Ia lahir pada masa kejayaan Aceh, tepatnya pada akhir abad ke-XV. Berdasarkan bukti sejarah (manuskrip) yang tersimpan di University Kebangsaan Malaysia dan berangka tahun 1254 H atau sekitar tahun 1875 M, Keumalahayati berasal dari keluarga bangsawan Aceh. Belum ditemukan catatan sejarah secara pasti yang menyebutkan kapan tahun kelahiran dan tahun kematiannya. Diperkirakan, masa hidupnya sekitar akhir abad XV dan awal abad XVI.

Laksamana Keumalahayati adalah putri dari Laksamana Mahmud Syah. Kakeknya bernama Laksamana Muhammad Said Syah, putra dari Sultan Salahuddin Syah yang memerintah Kesultanan Aceh Darussalam sekitar tahun 1530-1539 M. Sultan Salahuddin Syah merupakan putra dari Sultan Ibrahim Ali Mughayat Syah (1513-1530 M) yang merupakan pendiri Kesultanan Aceh Darussalam.

Jika dilihat dari silsilah tersebut, maka dapat dikatakan bahwa Laksamana Keumalahayati merupakan keturunan darah biru atau keluarga bangsawan keraton. Ayah dan kakeknya pernah menjadi laksamana angkatan laut. Jiwa bahari yang dimiliki ayah dan kakeknya tersebut kelak berpengaruh besar terhadap kepribadiannya. Meski sebagai seorang wanita, ia tetap ingin menjadi seorang pelaut yang gagah berani seperti ayah dan kakeknya tersebut.

a. Riwayat Pendidikan

Ketika menginjak usia remaja, Laksamana Keumalahayati mendapatkan kebebasan untuk memilih pendidikan yang diinginkannya. Ketika itu Kesultanan Aceh Darussalam memiliki Akademi Militer yang bernama Mahad Baitul Makdis, yang terdiri dari jurusan Angkatan Darat dan Angkatan Laut. Setelah menempuh pendidikan agamanya di Meunasah, Rangkang, dan Dayah, oleh karena ia ingin mengikuti karir ayahnya sebagai laksamana, maka ia mendaftarkan diri dalam penerimaan taruna di Akademi Militer Mahad Baitul Makdis. Ia diterima di akademi ini dan dapat menempuh pendidikan militernya dengan sangat baik. Bahkan, ia berprestasi dengan hasil yang sangat memuaskan.

Sebagai siswa yang berprestasi, Laksamana Keumalahayati berhak memiliki jurusan yang diinginkannya. Ia memilih jurusan Angkatan Laut. Ketika menempuh pendidikan di akademi ini ia pernah berkenalan dengan seorang calon perwira laut yang lebih senior (data tentang namanya belum diketahui). Perkenalan tersebut berlanjut hingga benih-benih kasih sayang terbangun di antara mereka. Mereka berdua akhirnya bersepakat untuk saling memadu kasih dan menyatukan diri ke dalam cinta. Setelah tamat dari Akademi Militer Mahad Baitul Makdis, keduanya melangsungkan pernikahan.

Setelah menamatkan studinya di Akademi Militer Mahad Baitul Makdis, Laksamana Keumalahayati berkonsentrasi pada dunia pergerakan dan perjuangan. Ia diangkat oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Mukammil (1589-1604 M) sebagai Komandan Protokol Istana Darud-Dunia di Kesultanan Aceh Darussalam. Jabatan tersebut merupakan kepercayaan sultan terhadap dirinya, sehingga ia perlu menguasai banyak pengetahuan tentang etika dan keprotokolan.

b. Riwayat Perjuangan

Kisah perjuangan Laksamana Keumalahayati dimulai dari sebuah perang di perairan Selat Malaka, yaitu antara armada pasukan Portugis dengan Kesultanan Aceh Darussalam yang dipimpin oleh Sultan Alauddin Riayat Syah al-Mukammil dan dibantu oleh dua orang laksamana. Pertempuran sengit terjadi di Teluk Haru dan dimenangkan oleh armada Aceh, meski harus kehilangan dua laksamananya dan ribuan prajuritnya yang tewas di medan perang. Salah satu laksamana yang tewas tersebut adalah suami Laksamana Keumalahayati sendiri yang menjabat sebagai Komandan Protokol Istana Darud-Dunia. Setelah suaminya meninggal dunia dalam peperangan tersebut, ia berjanji akan menuntut balas dan bertekad meneruskan perjuangan suaminya meski secara sendirian.

Untuk memenuhi tujuannya tersebut, Laksamana Keumalahayati meminta kepada Sultan al-Mukammil untuk membentuk armada Aceh yang semua prajuritnya adalah wanita-wanita janda karena suami mereka gugur dalam Perang Teluk Haru. Permintaan Keumalahayati akhirnya dikabulkan. Ia diserahi tugas memimpin Armada Inong Balee dan diangkat sebagai laksamananya. Ia merupakan wanita Aceh pertama yang berpangkat laksamana (admiral) di Kesultanan Aceh Darussalam. Armada ini awalnya hanya berkekuatan 1000 orang, namun kemudian diperkuat lagi menjadi 2000 orang. Teluk Lamreh Krueng Raya dijadikan sebagai pangkalan militernya. Di sekitar teluk ini, ia membangun Benteng Inong Balee yang letaknya di perbukitan.

Setelah memangku jabatan sebagai laksamana, Keumlahayati mengkoordinir pasukannya di laut, mengawasi berbagai pelabuhan-pelabuhan yang berada di bawah penguasaan syahbandar, dan mengawasi kapal-kapal jenis galey milik Kesultanan Aceh Darussalam. Seorang nahkoda kapal Belanda yang berkebangsaan Inggris, John Davis, mengungkapkan fakta bahwa pada masa kepemimpinan militer Laksanana Keumalahayati, Kesultanan Aceh Darussalam memiliki perlengkapan armada laut yang di antaranya terdiri dari 100 buah kapal (galey) dengan kapasitas penumpang 400-500 orang.

Kisah perjuangan Laksamana Keumalahayati tidak berhenti di sini. Ia pernah terlibat dalam pertempuran melawan kolonialisme Belanda. Ceritanya, pada tanggal 22 Juni 1586, Cornelis de Houtman memimpin pelayaran pertamanya bersama empat buah kapal Belanda dan berlabuh di Pelabuhan Banten. Setelah kembali ke Belanda, pada pelayaran yang kedua, ia memimpin armada dagang Belanda yang juga dilengkapi dengan kapal perang. Hal itu dilakukan untuk menghadapi kontak senjata dengan Kesultanan Aceh Darussalam pada tanggal 21 Juni 1599. Dua buah kapal Belanda bernama de Leeuw dan de Leeuwin yang dipimpin oleh dua orang bersaudara, Cornelis de Houtman dan Frederick de Houtman, berlabuh di ibukota Kesultanan Aceh Darussalam. Pada awalnya, kedatangan rombongan tersebut mendapat perlakuan yang baik dari pihak kesultanan karena adanya kepentingan hubungan perdagangan.

Namun, dalam perkembangan selanjutnya Sultan al-Mukammil tidak senang dengan kehadiran rombongan tersebut dan memerintahkan untuk menyerang orang-orang Belanda yang masih ada di kapal-kapalnya. Ada dugaan bahwa sikap Sultan tersebut banyak dipengaruhi oleh hasutan seseorang berkebangsaan Portugis yang kebetulan menjadi penerjemahnya. Serangan tersebut dipimpin sendiri oleh Laksamana Keumalahayati. Alhasil, Cornelis de Houtman dan beberapa anak buahnya terbunuh, sedangkan Frederick de Houtman tertangkap dan dimasukkan ke dalam penjara (selama 2 tahun). Keberhasilan Laksamana Keumalahayati merupakan sebuah prestasi yang sungguh luar biasa.

Keumalahayati ternyata bukan hanya sebagai seorang Laksamana dan Panglima Angkatan Laut Kesultanan Aceh Darussalam, namun ia juga pernah menjabat sebagai Komandan Pasukan Wanita Pengawal Istana. Jabatan ini merupakan tugas kesultanan dalam bidang diplomasi dan ia bertindak sebagai juru runding dalam urusan-urusan luar negeri. Ia sendiri telah menunjukkan bakatnya dan menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Ia memiliki sifat dan karakter yang tegas sekaligus berani dalam menghadapi berbagai momen perundingan, baik dengan Belanda maupun Inggris. Meski begitu, sebagai diplomat yang cerdas, ia dapat bersikap ramah dan luwes dalam melakukan berbagai perundingan.

Pada tanggal 21 November 1600, rombongan bangsa Belanda yang dipimpin Paulus van Caerden datang ke Kesultanan Aceh Darussalam. Sebelum memasuki pelabuhan, rombongan ini menenggelamkan sebuah kapal dagang Aceh dengan terlebih dahulu memindahkan segala muatan lada yang ada di dalamnya ke kapal mereka. Setelah itu datang lagi rombongan bangsa Belanda kedua yang dipimpin oleh Laksamana Yacob van Neck. Mereka mendarat di Pelabuhan Aceh pada tanggal 31 Juni 1601. Mereka memperkenalkan diri sebagai bangsa Belanda yang datang ke Aceh untuk membeli lada. Setelah mengetahui bahwa yang datang adalah bangsa Belanda, Laksamana Keumalahayati langsung memerintahkan anak buahnya untuk menahan mereka. Tindakan tersebut mendapat persetujuan Sultan al-Mukammil karena sebagai ganti rugi atas tindakan rombongan Belanda sebelumnya.

Pada tanggal 23 Agustus 1601, tiba rombongan bangsa Belanda ketiga yang dipimpin oleh Komisaris Gerard de Roy dan Laksamana Laurens Bicker dengan empat buah kapal (Zeelandia, Middelborg, Langhe Bracke, dan Sonne) di Pelabuhan Aceh. Kedatangan mereka memang telah disengaja dan atas perintah Pangeran Maurits. Kedua pimpinan rombongan mendapat perintah untuk memberikan sepucuk surat dan beberapa hadiah kepada Sultan al-Mukammil. Sebelum surat diberikan, sebenarnya telah terjadi perundingan antara Laksamana Keumalahayati dengan dua pimpinan rombongan Belanda. Isi perundingan tersebut adalah terwujudnya perdamaian antara Belanda dan Kesultanan Aceh, dibebaskannya Frederick de Houtman, dan sebagai imbalannya Belanda harus membayar segala kerugian atas dibajaknya kapal Aceh oleh Paulus van Caerden (akhirnya Belanda mau membayar kerugian sebesar 50.000 golden).

Setelah itu hubungan antara Belanda dan Kesultanan Aceh berlangsung cukup baik. Kehadiran bangsa Belanda dapat diterima secara baik di istana kesultanan dan mereka diperbolehkan berdagang di Aceh. Sebagai lanjutan dari hubungan baik antara Belanda dan Kesultanan Aceh, maka diutuslah tiga orang untuk menghadap Pangeran Maurits dan Majelis Wakil Rakyat Belanda. Ketiga orang itu adalah Abdoel Hamid, Sri Muhammad (salah seorang perwira armada laut di bawah Laksamana Keumalahayati), dan Mir Hasan (bangsawan kesultanan). Meski sedang dilanda perang melawan kolonialisme Spanyol, pihak Belanda menyambut utusan Aceh tersebut dengan upacara kenegaraan.

Peran diplomatik Laksamana Keumalahayati masih berlanjut. Hal ini bermula dari keinginan Inggris untuk menjalin hubungan dagang dengan Kesultanan Aceh Darussalam. Ratu Elizabeth I (1558-1603 M) mengirim utusan untuk membawa sepucuk suratnya kepada Sultan Aceh al-Mukammil. Rombongan yang dipimpin oleh James Lancaster, seorang perwira dari Angkatan Laut Inggris ini, tiba di Pelabuhan Aceh pada tanggal 6 Juni 1602. Sebelum bertemu dengan Sultan al-Mukammil, Lancaster mengadakan perundingan dengan Laksamana Keumalahayati. Dalam perundingan itu, Lancaster menyampaikan keinginan Inggris untuk menjalin kerjasama dengan Kesultanan Aceh Darussalam. Ia juga berpesan agar Laksamana Keumalahayati memusuhi Portugis dan berbaik hati dengan Inggris. Laksamana Keumalahayati meminta agar keinginan tersebut dibuat secara tertulis dan diatasnamakan Ratu Inggris. Setelah surat tersebut selesai dibuat, Lancaster diperkenankan menghadap Sultan al-Mukammil.

Laksamana Keumalahayati juga berperan besar dalam menyelesaikan intrik kesultanan. Hal ini bermula dari peristiwa penting perihal suksesi kepemimpinan di Kesultanan Aceh Darussalam. Pada tahun 1603 M, Sultan al-Mukammil menempatkan anak lekaki tertuanya sebagai pendamping dirinya. Namun, rupanya putra tersebut berkhianat terhadap ayahnya dan mengangkat dirinya sebagai Sultan Aceh dengan gelar Sultan Ali Riayat Syah (1604-1607 M).

Pada masa awal kepemimpinannya, berbagai macam bencana menimpa Kesultanan Aceh Darussalam, seperti kemarau yang berkepanjangan, pertikaian berdarah antar saudara, dan ancaman dari pihak Portugis. Tidak ada keinginan kuat dari Sultan Ali Riayat Syah untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan serius. Maka banyak timbul rasa kekecewaan dari punggawa kesultanan, salah satu di antaranya adalah Darmawangsa Tun Pangkat, kemenakannya sendiri. Darmawangsa ditangkap dan dipenjara atas perintah Sultan.

Pada bulan Juni 1606, Portugis menyerang Kesultanan Aceh Darussalam yang dipimpin oleh Alfonso de Castro. Ketika itu Darmawangsa masih berada di penjara. Ia memohon kepada Sultan Ali Riayat Syah agar dirinya dapat dibebaskan dan dapat ikut bertempur melawan Portugis. Dengan didukung adanya pemintaan Laksamana Keumalahayati, Darmawangsa akhirnya dapat dibebaskan. Mereka berdua akhirnya berjuang bersama dan dapat menghancurkan pasukan Portugis.

Oleh karena Sultan Ali Riayat Syah dianggap banyak kalangan tidak cakap lagi memimpin kesultanan, maka Laksamana Keumalahayati melakukan manuver dengan cara menurunkan Sultan Ali Riayat Syah dari tahta kekuasaan. Darmawangsa akhirnya terpilih sebagai Sultan Aceh dengan gelar Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M). Pada masanya, Kesultanan Aceh Darussalam mencapai zaman keemasan.

2. Karya

Karya Laksamana Keumalahayati memang tidak berupa buku atau berbagai bentuk tulisan. Namun demikian, segala bentuk perjuangannya dalam melawan kolonialisme dapat juga dianggap sebagai karya-karya nyatanya. Di antara karya-karya dimaksud adalah sebagai berikut:
Ia pernah membangun Benteng Inong Balee dengan tinggi 100 meter dari permukaan laut. Tembok benteng menghadap ke laut dengan lebar 3 meter dengan lubang-lubang meriam yang moncongnya mengarah ke pintu teluk.
Ia pernah berhasil membunuh Cornelis de Houtman, salah seorang pemimpin kapal Belanda yang pertama kali tiba di Aceh.

3. Penghargaan

Sebagai bentuk penghargaan terhadap perjuangannya:
- sebuah serial bertajuk “Laksamana Keumalahayati” telah digarap dengan sutradara Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora), Adhyaksa Dault. Serial ini berisi 13 episode. Episode perdananya telah diputar di Blitz Megaplex (10 November 2007).
- Sebuah lagu telah diciptakan oleh Endang Moerdopo yang dinyanyikan dan dipopulerkan oleh Iwan Fals yang berjudul "Perempuan Keumala".
- Sebuah Novel telah diterbitkan hasil karya pengarang Endang Moerdopo yang berjudul "perempuan Keumala".

TEUNGKU FAKINAH


Menurut catatan pada Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Banda Aceh, adalah seorang pahlawan yang juga ulama puteri yang terkenal di Aceh. Ia lahir pada tahun 1856. Orang tuanya Teungku Datuk dan Cut Mah dari Kampung Lam Beunot (Lam Taleuk), Mukim Lam Krak VII, Sagi XXII Mukim, Aceh Besar. Sejak kecil, Teungku Fakinah diajarkan mengaji oleh kedua orang tuanya. Di samping itu, Teungku Fakinah juga diajarkan keterampilan seperti menjahit, membuat kerawang sutera dan kasab. Dari ketekunan dan kegigihannya belajar ilmu Agama Islam, maka setelah dewasa ia digelar Teungku Faki.

Pada usia 16 tahun, Teungku Faki menikah dengan Teungku Ahmad, yang setahun kemudian syahid bersama Panglima Besar Rama Setia dan Imam Lam Krak, dalam mempertahankan Pantai Cermin, Ulee Lheu, dari serangan Belanda. Setelah pernikahannya dengan Teungku Ahmad, Teungku Fakinah membuka sebuah pesantren yang dibiayai Teungku Asahan, yang tidak lain adalah mertuanya. Dalam bukunya "59 Tahun Aceh Merdeka", A. Hasjmi menyebutkan, pesantren tersebut bernama Dayah Lam Diran, yang akhirnya berkembang dan banyak dikunjungi pemuda-pemudi dari daerah lain di sekitar Aceh Besar, dan bahkan dari Cumbok, Pidie. Sejak menjadi janda diusianya yang masih remaja, Teungku Fakinah bersama para janda dan kaum wanita lain membentuk sebuah badan amal yang mendapat dukungan dari seluruh muslimat di Aceh Besar dan sekitarnya. Badan amal ini kemudian berkembang sampai ke Pidie, dengan kegiatannya meliputi pengumpulan sumbangan berupa beras maupun uang yang digunakan untuk membantu pejuang Aceh melawan Belanda. Atas mufakat masyarakat, Teungku Faki kemudian menikah dengan seorang alim ulama yakni Teungku Nyak Badai, bekas murid Tanoh Abee yang berasal dari Kampung Langa, Pidie. 

Dalam perjalanan hidupnya, Teungku Fakinah pernah mengungsi ke Lammeulo, Cumbok, Pidie, akibat serangan Belanda. Di tempat ini, Teungku Fakinah mendirikan sebuah pesantren untuk wanita. Namun, sekitar Tahun 1899 tempat itu diserbu dan dibumihanguskan oleh Belanda. Teungku Fakinah berhasil meloloskan diri dan ikut bergerilya bersama suaminya. Pada tahun 1910, Panglima Polem atas nama masyarakat meminta Teungku Fakinah pulang ke kampung halamannya di Lam Krak untuk membantu pesantren di sana. Dalam perkembangan selanjutnya, setelah Teungku Fakinah wafat pada tahun 1938, masjid yang telah dibangun semasa hidupnya, masih difungsikan oleh masyarakat sebagai tempat ibadah.

LAKSAMANA KEUMALAHAYATI : Laksamana Perempuan Pertama di dunia




Sejarah menunjukkan, bahwa di ujung barat kepulauan Nusantara terdapatlah sebuah Kerajaan Islam Aceh Darussalam, yang tercatat sebagai satu dari lima kerajaan Islam terbesar di jamannya. Sebagai sebuah kerajaan yang terletak di ujung barat, maka Kerajaan Aceh Darussalam menjadi pintu gerbang pelayaran di Selat Malaka. Oleh karenanya tidak mengherankan bahwa Kerajaan Aceh Darussalam memiliki Armada Laut yang luar biasa kuatnya. Dalam perjalanan sejarah, pada masa pemerintahan salah seorang Sultan yaitu Baginda Sultan Alaiddin Riayat Syah Al Mukammil pada abad ke 16 - 17 tepatnya pada tahun 1589 hingga 1604, sejarah mencatat nama besar seorang pahlawan perempuan yaitu LAKSAMANA MALAHAYATI. Ia adalah seorang Laksamana perang perempuan yang memimpin lebih kurang 1000 orang pasukan Inong Balee (satu-satunya pasukan yang terdiri dari kaum perempuan) dengan gagah berani.

Menjadi menarik, karena Laksamana Malahayati bukan saja hanya Laksamana pertama di Indonesia, melainkan ia adalah seorang Laksamana perempuan pertama di dunia. Dalam sejarah perjalanan pengabdiannya pada Kerajaan Aceh Darussalam ia juga telah membuktikan keberaniannya dengan membunuh Cornelis De Houtman, seorang Belanda pertama yang menginjakkan kaki di bumi Nusantara. Tidak salah bila Laksamana Malahayati juga telah ditetapkan sebagai salah satu pahlawan perempuan Indonesia sebagai jasanya membela tanah air.
Dari sepak terjang pengabdiannya pada Kerajaan Aceh Darussalam, jelas Laksamana Malahayati memiliki andil besar dalam mempertahankan tanah tumpah darahnya. Selain Laksamana Malahayati, telah banyak dikenal pula pahlawan-pahlawan perempuan dari tanah rencong yang terkenal keberaniannya, seperti, Laksamana Muda Tjut Meurah Inseuen, Laksamana Leurah Ganti, Cut Meutia, dan seorang pahlawan perempuan yang sudah sangat dikenal yaitu Cut Nyak Dien. Selain itu juga pada masa abad ke 17 Kerajaan Aceh Darussalam telah pula diperintah oleh ratu-ratu perempuan yang sangat berpengaruh, yaitu ; Ratu Tajul Alam Safiatuddin Syah, Sri Ratu Nur Alam Nakiatuddin Syah, Sri Ratu Inayat Syah Zakiatuddin Syah dan Ratu Kumala Syah.
Berangkat dari perjuangan yang telah dilakukan oleh perempuan pada masa lampau, maka dapat dikatakan bahwa perempuan Aceh memiliki keberanian yang tinggi. Mereka membuktikan bahwa perempuan bukan mahluk lemah dalam mempertahankan cita-cita, agama dan hak asasinya, walaupun tidak melupakan tugas utama kodrat mereka sebagai ibu yang melahirkan anak-anak negeri penerus perjuangan. Hal inilah yang penting untuk disosialisasikan kepada perempuan pada saat ini, khususnya bagi perempuan Aceh dan bagi para perempuan di seluruh Indonesia pada umumnya. Dengan demikian jelaslah bahwa perjuangan perempuan telah dilakukan sejak jaman dahulu kala. Hal ini dibuktikan dari adanya sejarah yang bukan hanya untuk dikenang, tetapi dapat dijadikan sebuah semangat untuk membangun jiwa perempuan yang kuat dan berkarakter.

Penulis : Endang Moerdopo

Pocut Barhen


1. Riwayat Hidup
Aceh dikenal telah melahirkan banyak pahlawan wanita. Tercatat ada nama Cut Nyak Meutia, Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Aisyah, Pocut Meurah Intan, Pocut Biheu, Cutpo Fatimah, Teungku Fakinah, Pocut Baren, dan masih banyak lagi. Pocut Baren yang menjadi bahasan tulisan ini merupakan wanita bangsawan yang lahir pada tahun 1880 di Tungkop, Kabupaten Aceh Barat, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia. Ia adalah putri Teuku Cut Amat, Uleebalang (tokoh adat) Tungkop yang sangat berpengaruh.

Oleh karena ayahnya adalah seorang uleebalang, maka banyak ulama yang datang ke kediaman ayahnya untuk mendiskusikan masalah-masalah keagamaan. Kondisi demikian memudahkan Pocut Baren mendapatkan pendidikan agama (Islam) secara langsung dari ulama-ulama tersebut. Pendidikan agama mampu menanamkan jiwa dan kepribadian Pocut Baren menjadi seorang wanita muda yang berani berkorban apa saja demi tegaknya kepentingan agama dan bangsanya. Selain modal pendidikan agama, kondisi politik pada saat itu juga membentuk kepribadiannya menjadi lebih dewasa lagi. Sebagaimana pada umumnya gadis-gadis Aceh seusianya, ia dilahirkan dalam suasana konflik (perang). Ia ikut berjuang menghadapi kolonialisme Belanda di bumi Aceh.

Setelah menginjak usia dewasa, Pocut Baren menikah dengan seorang pejabat daerah (keujruen) yang juga menjadi uleebalang Gume, Kabupaten Aceh Barat. Suaminya pernah memimpin perlawanan terhadap pasukan Belanda yang menyerang di kawasan Woyla.

Perjuangan Pocut Baren melawan penjajah Belanda dimulai sejak berjuang bersama dengan Cut Nyak Dhien. Pocut Baren menunjukkan kesetiannya berjuang bersama dengan Cut Nyak Dhien, baik dalam berperang secara bersama melawan penjajah Belanda maupun dalam pengembaraannya dari satu tempat ke tempat yang lain. Perjuangan tersebut dilakoninya dengan penuh kesungguhan dan kesabaran meski dalam kondisi hidup yang susah dan menderita. Modal perjuangan bersama dengan Cut Nyak Dhien ternyata berpengaruh besar dalam membangkitkan keberanian dirinya berjuang lebih lanjut. Bahkan, suatu saat ia memimpin pasukannya sendirian.

Menurut catatan seorang penulis asal Belanda bernama Doup, Pocut Baren telah melakukan perlawanan terhadap Belanda sejak tahun 1903 hingga tahun 1910. Cut Nyak Dhien pernah tertangkap oleh pasukan Belanda pada tanggal 4 November 1905. Artinya, Pocut Baren pernah memimpin sendirian pasukannya melawan Belanda, meskipun Cut Nyak Dhien masih aktif berjuang secara sendirian. Dengan demikian, pada masa itu di wilayah Aceh terdapat dua wanita pejuang yang memimpin pasukannya melawan Belanda, yaitu Cut Nyak Dhien dan Pocut Baren. Kedua tokoh pejuang wanita ini dikenal mempunyai tekad dan keberanian yang kuat dalam mempertahankan Aceh sebagai negeri yang merdeka dari segala bentuk kolonialisme, termasuk kolonialisme Belanda.

Pocut Baren pernah berjuang bersama dengan suaminya melawan penjajah Belanda. Ketika berjuang, ia sebenarnya sadar bahwa dirinya dan suaminya akan terancam maut oleh setiap serangan musuh yang terkenal mempunyai teknologi dan peralatan perang yang amat canggih. Namun, dengan semangat perjuangan yang kuat maka segala tantangan dan ancaman pasti akan dapat dihalau. Ia dan suaminya sudah rela mati syahid demi kedaulatan tanah Aceh dari serangan musuh. Ia pun sadar bahwa suaminya kelak akan mendahului dirinya. Karena sebagai pemimpin pasukan, suaminya dapat terancam kapan saja oleh peluru-peluru musuh.

Ibarat pepatah “malang tak dapat ditolak, mujur tak dapat diraih”, suami Pocut Baren akhirnya meninggal dunia di medan perang. Hal itu terjadi ketika Pocut Baren bersama suaminya berjuang melawan pasukan Belanda di wilayah Keujren Game, Kabupaten Aceh Barat. Pasukan Belanda yang telah diperkuat dengan personil militer yang sangat besar mampu memukul mundur pasukan Aceh yang memang sedang dalam posisi yang lemah. Ketika itu dengan beruntung Pocut Baren berhasil meloloskan diri dari kepungan pasukan Belanda. Meski ia sedih dengan kematian suaminya, namun ia tetap bertekad meneruskan perjuangan suaminya tersebut.

Meski Pocut Baren harus berjuang sendirian, namun ia tetap gigih berjuang, tidak merasa minder, dan semangatnya sama sekali tidak hilang. Ia menghimpun kembali kekuatan pasukannya dengan cara memobilisasi penduduk di wilayah Kaway XII. Ia mengumpulkan kembali sisa-sisa pasukannya yang masih ada untuk meneruskan perjuangan yang telah lama dilakukannya. Di sisi yang lain, Belanda yang memang telah mempunyai kekuatan perang sangat besar justru makin diperkuat dengan bantuan militer, yang salah satunya berasal dari batavia (Betawi).

Di samping melakukan mobilisasi, Pocut Baren membangun benteng di Gunung Macan sebagai pusat pertahanan dari serangan musuh. Melalui benteng ini, segala rencana penyerangan terhadap pasukan musuh disusun dengan strategi yang sangat rapi. Di sisi lain, Belanda tidak mau kalah. Mereka membangun tangsi secara besar-besaran di Kuala Bhee dan Tanoh Mirah. Dari kedua tempat inilah, Belanda melancarkan serangan kepada pasukan Pocut Baren.

Dari pusat pertahanannya di Gunung Macan tersebut, Pocut Baren lebih banyak melangsungkan serangan terhadap tangsi-tangsi Belanda, di Kuala Bhee dan Tanoh Mirah. Pasukan Belanda sendiri tidak berani langsung menyerang pasukan Pocut Baren di Gunung Macam karena pertahanannya yang sangat kuat. Meski demikian, pasukan Pocut Baren belum mampu membuat pasukan Belanda menyerah atau hengkang dari tanah Aceh. Hal itu disebabkan karena modal persenjataan pasukan Pocut Baren masih sangat terbatas.

Pada tahun 1910, Belanda melakukan penyerbuan secara besar-besaran terhadap benteng pertahanan Pocut Baren di Gunung Macan. Pasukan Belanda ketika itu dipimpin langsung oleh Letnan Hoogers. Dengan seketika, Benteng Pocut Baren digempur secara habis-habisan. Pocut Baren tidak merasa takut dengan serangan tersebut. Ia memimpin pasukannya dengan maksud untuk mempertahankan benteng tersebut. Namun, ternyata ia tertembak dalam pertempuran tersebut dengan luka yang sangat parah. Ia akhirnya dapat tertangkap oleh pasukan Belanda secara hidup-hidup, dan kemudian dibawa ke Meulaboh.

Tertangkapnya Pocut Baren menandai masa berakhirnya perlawanan dirinya terhadap Belanda. Untuk proses pengobatan lukanya tersebut, ia kemudian dibawa ke Kutaraja. Karena lukanya yang sudah sedemikian parah, maka tim dokter memutuskan untuk melakukan amputasi, yaitu memotong kedua belah kakinya. Meski demikian, ia tetap tegar menerima kenyataan dan cobaan yang tengah dihadapinya.

Selama di Kutaraja, Pocut Baren diperlakukan sebagai tawanan perang dan juga sebagai seorang uleebalang. Ketika Gubernur Militer Aceh dipegang oleh Van Daalen, ada rencana dari gubernur itu untuk mengasingkan Pocut Baren ke Pulau Jawa. Ada seorang perwira penghubung bangsa Belanda, T.J. Veltman menyarankan kepada gubernur agar Pocut Baren tidak diasingkan, tapi dikembalikan ke kampung halamannya sebagai uleebalang di Tungkop. Dengan strategi ini diharapkan perlawanan rakyat Aceh dapat dihentikan. Gubernur Van Daalen menyetujui saran tersebut.

Setelah Pocut Baren dinyatakan sembuh dari sakitnya dan diyakini tidak akan melakukan perlawanan lagi, maka ia akhirnya kembali ke kampung halamannya di Tungkop sebagai seorang uleebalang. Di samping sebagai uleebalang, ia juga aktif menggerakkan kehidupan rakyatnya ke arah yang lebih baik, seperti melakukan perbaikan ekonomi rakyat dan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya sastra dalam kehidupan ini. Perjuangan tersebut dilakukan hingga ia meninggal dunia pada tahun 1933. 

2. Pemikiran

Pocut Baren, selain dikenal sebagai pejuang wanita Aceh yang sejati, juga dikenal memiliki pemikiran dan gagasan yang menarik. Berikut ini dikemukakan dua bidang pemikirannya. 

2. 1. Pemikiran Ekonomi

Selama masa penjajahan Belanda, perekonomian rakyat Aceh mengalami banyak kemunduran. Banyak sawah yang terbengkalai dan akhirnya menjadi lahan tidur karena sebagian besar penduduk ikut terlibat dalam perang melawan penjajah. Hal ini mengakibatkan munculnya kemiskinan dan kelaparan yang menimpa masyarakat. Pocut Baren kemudian berpikir bagaimana caranya mengembalikan kondisi perekonomian rakyat di Tungkop. Sebagai uleebalang, ia memimpin rakyat di daerah tersebut agar menghidupkan kembali lahan-lahan yang telah lama terbengkalai. Lahan sawah kembali digarap. Lahan perkebunan ditanami buah-buahan, sayur-sayuran, kelapa, pala, kakau, cengkeh, nilam, mangga, pisang, jagung, dan tanaman lainnya.

Dalam bidang perairan, Pocut Baren menggerakkan rakyatnya untuk membangun saluran irigasi yang dialirkan dari sungai-sungai besar ke sawah-sawah penduduk. Proses pengairan dilakukan secara bergilir agar tidak menimbulkan konflik di antara para penduduk.

Ada ide Pocut Baren yang menarik tentang pertanian. Ia menyarankan kepada para penduduk agar menanam padi secara serentak dengan tujuan agar siklus kehidupan hama dapat terputus. Agar hasil panen yang didapat para petani menjadi lebih baik, ia memperkenalkan sistem Panca Usaha Tani kepada penduduk. Sistem ini mencakup:

(a). Melakukan pengolahan tanah secara baik dan benar;
(b). Menyemaikan bibit padi secara benar:
(c). Melakukan pemberantasan hama dengan memanfaatkan predator (hewan yang memangsa hewan yang lain); (
d). Memberikan pupuk dengan dosis yang tepat, yaitu pupuk kandang dan pupuk organik (kompos);
(e). Mengairi sawah sesuai dengan kebutuhan tanaman padi.

Berkat kerja keras Pocut Baren terhadap pengembangan perekonomian rakyat, secara berangsur-angsur kehidupan rakyat semakin membaik. Perekonomian rakyat tidak lesu lagi. Ketika itu Tungkop berkembang menjadi daerah yang aman, tenteram, dan makmur. Bahkan, ketika musim panen tiba, daerah Tungkop mengalami surplus pertanian, sehingga sebagian hasilnya dapat dikirimkan ke daerah-daerah lain.

Kesuksesan Pocut Baren itu ternyata disikapi secara gembira oleh Pemerintah Belanda yang membawahi Tungkop. Laporan Letnan H. Schuerleer, Komandan Bivak Tanoh Mirah, kepada atasannya di Kutaraja menyebutkan bahwa Pocut Baren telah berusaha dengan sungguh-sungguh dalam menciptakan ketertiban, keamanan, dan kemakmuran masyarakat. Sebagai wujud rasa terima kasih, T.J. Veltman memberi hadiah kepada Pocut Baren berupa sebuah kaki palsu yang terbuat dari kayu.

2. 2. Pemikiran Kesusastraan

Pocut Baren ternyata memiliki bakat kesusastraan Aceh. Keahliannya dalam bidang sastra muncul karena ia sering menyempatkan diri ketika beristirahat untuk merenungkan kembali peristiwa-peristiwa yang telah berlalu. Di saat seperti itulah darah pujangganya mengalir deras. Apa yang jadi kenangan-kenangan dirinya ia ekspresikan dalam bentuk pantun dan syair. Ketika itu syair-syairnya sering dibacakan banyak orang di depan publik.

Pocut Baren telah menulis banyak pantun dan syair, baik dalam bahasa Aceh maupun huruf Melayu Arab (Jawi). Bahkan, karya-karya sastranya banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan disimpan di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Banyak orang yang hingga kini masih melantunkan syair-syairnya karena memang begitu indah dan menggugah. Salah satu contoh syairnya dalam bahasa Aceh adalah sebagai berikut:

Le Krueng Woyla ceukoe likat (Sungai Woyla keruh pekat)
Engkot jilumpat jisangka ie tuba (Ikan melompat dikira tuba)
Seunggap di yub seungap di rambut (Sunyi di kolong senyap di rambut)
Meurubok Barat buka suara (Hari malam buka suara)
Bukon Sayang itek di kapay (Wahai sayang itik di kapal)
Jitimoh bulee ka si on sapeue (Bulunya tumbuh aneka warna)
Bukon sayang bilek ku tinggay (Tinggallah engkau bilikku sayang)
Teumpat ku tido siang dan malam (Tempat peraduanku siang dan malam)

3. Karya

Karya Pocut Baren bukan dalam bentuk tulisan, seperti buku, artikel, dan sebagainya. Segala bentuk pemikiran dan perjuangannya dalam menghadapi kolonialisme Belanda dapat kita katakan sebagai hasil karya-karya besarnya yang patut diapresiasi.

4. Penghargaan

Sebagai bentuk penghargaan terhadap Pocut Baren, Yuslizar, seorang seniman Aceh, mendirikan sanggar tari Pocut Baren pada tahun 1967. Nama Pocut baren juga diabadikan sebagai nama sejumlah jalan di wilayah Nanggroe Aceh Darussalam.

Sumber : Melayu Online

Cut Mutia


Cut Nyak Meutia lahir di Perlak, Aceh tahun 1870, yaitu tiga tahun sebelum perang Aceh - Belanda meletus. Pada usia muda ia sudah menikah dengan Teuku Muhammad, seorang pejuang yang lebih dikenal dengan nama Teuku Cik Tunong.

Sekitar tahun 1900 an banyak pejuang-pejuang Aceh yang tewas. Gerakan Belanda sudah sampai masuk kepedalaman Aceh. Cut Nyak Meutia suaminya memimpin perjuangan gerilya di daerah Pasai. Berkali-kali pasukan mereka berhasil didalam penyerangan-penyerangan terhadap Belanda. Melalui pihak keluarga, Belanda berusaha membujuk supaya Meutia menyerahkan diri kepada Belanda. Tapi bujukan tersebut tidak berhasil.

Pada Tahnu 1905 suaminya yaitu Teuku Cik Tunong ditangkap Belanda dan kemudian dijatuhi hukuman tembak. Sesuai pesan suaminya, Cut Meutia kemudian kawin dengan teman sahabat yang dipercayai oleh suaminya yang bernama Pang Nangru. Bersama suami yang barunya itu ia melanjutkan perjuangannya.

Waktu terus berjalan dan mereka selalu dalam pengejarang Belanda, bahkan mereka sudah sampai dipedalaman pelosok-pelosok rimba Pasai. Pada bulan September 1910 Pang Nangru tewas dalam pertempuran di Paya Cicem. Cut Meutia masih dapat meloloskan diri. Dengan seorang anaknya yang masih berumus sebelas tahun yang bernama Raja Sabil ia berpindah-pindah dipedalaman Rimba Pasai.

Pada tanggal 24 Oktober 1910 tempat Cut Meutia bersembungi dikepung Belanda dan Cut Meutia mengadakan perlawanan dengan menggunakan sebilah rencong akan tetepi tiga orang tentara Belanda melepaskan tembankan yang mengea kepada dan dua buah mengenai dadanya. Cut Meutia gugur pada saat itu juga.

Cut Nyak Dhien


Cut Nyak Dhien (Lampadang, 1848 – 6 November 1908, Sumedang, Jawa Barat; dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang) adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia dari Aceh yang berjuang melawan Belanda pada masa Perang Aceh. Setelah wilayah VI Mukim diserang, ia mengungsi sementara suaminya, Ibrahim Lamnga bertempur melawan Belanda. Ibrahim Lamnga tewas di Gle Tarum pada tanggal 29 Juni 1878 yang menyebabkan Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah hendak menghancurkan Belanda.


Teuku Umar, salah satu tokoh yang melawan Belanda, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak, tetapi karena Teuku Umar memperbolehkannya ikut serta dalam medan perang, Cut Nyak Dhien setuju untuk menikah dengannya pada tahun 1880 yang menyebabkan meningkatnya moral pasukan perlawanan aceh. Nantinya mereka memiliki anak yang bernama Cut Gambang.Setelah pernikahannya dengan Teuku Umar, ia bersama Teuku Umar bertempur bersama melawan Belanda, namun, Teuku Umar gugur saat menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899, sehingga ia berjuang sendirian di pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya. Cut Nyak Dien saat itu sudah tua dan memiliki penyakut encok dan rabun, sehingga satu pasukannya yang bernama Pang Laot melaporkan keberadaannya karena iba. Ia akhirnya ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh, disana ia dirawat dan penyakitnya mulai sembuh, namun, ia menambah semangat perlawanan rakyat Aceh serta masih berhubungan dengan pejuang Aceh yang belum tertangkap, sehingga ia dipindah ke Sumedang, dan ia meninggal pada tanggal 6 November 1908 dan dimakamkan di Gunung Puyuh, Sumedang.

Kehidupan awal

Latar belakang keluarga

Cut Nyak Dhien dilahirkan dari keluarga bangsawan yang taat beragama di Lampadang, wilayah VI Mukim pada tahun 1848. Ayahnya bernama Teuku Nanta Setia, seorang uleebalang VI Mukim, yang juga merupakan keturunan Machmoed Sati, perantau dari Sumatera Barat. Machmoed Sati mungkin datang ke Aceh pada abad ke 18 ketika kesultanan Aceh diperintah oleh Sultan Jamalul Badrul Munir. Oleh sebab itu, Ayah dari Cut Nyak Dhien merupakan keturunan Minangkabau. Ibu Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang Lampagar.

Masa kecil

Pada masa kecilnya, Cut Nyak Dhien adalah anak yang cantik.Sewaktu kecil, ia memperoleh pendidikan pada bidang agama yang dididik oleh orang tua ataupun guru agama, rumah tangga (memasak, melayani suami, dan yang menyangkut kehidupan sehari-hari) yang dididik baik oleh orang tuanya. Dan juga, banyak laki-laki yang suka pada Cut Nyak Dhien dan berusaha melamarnya. Sehingga pada usia 12 tahun, dia sudah dinikahkan oleh orangtuanya pada tahun 1862 dengan Teuku Cek Ibrahim Lamnga, putra dari uleebalang Lamnga XIII. Mereka memiliki satu anak laki-laki.

Perlawanan saat Perang Aceh

Belanda menyerang Aceh

Pada tanggal 26 Maret 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh, dan mulai melepaskan tembakan meriam ke daratan Aceh dari kapal perang Citdadel van Antwerpen. Sehingga meletuslah Perang Aceh. Perang pertama (1873-1874), yang dipimpin oleh Panglima Polim dan Sultan Machmud Syah melawan Belanda yang dipimpin Kohler. Saat itu, Belanda mengirim 3.198 prajurit. Lalu, pada tanggal 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen dibawah pimpinan Kohler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman dan membakarnya. Cut Nyak Dhien yang melihat hal ini berteriak:“Lihatlah wahai orang-orang Aceh!! Tempat ibadat kita dirusak!! Mereka telah mencorengkan nama Allah! Sampai kapan kita begini? Sampai kapan kita akan menjadi budak Belanda?"
Saat itu, Kesultanan Aceh dapat memenangi perang ini. Ibrahim Lamnga yang bertarung di garis depan kembali dengan sorak kemenangan, sementara Kohler tewas tertembak pada April 1873.
Pendudukan VI Mukim

Pada tahun 1874-1880, dibawah pimpinan Jenderal Van Swieten, daerah VI Mukim dapat diduduki Belanda pada tahun 1873, sedangkan Keraton Sultan jatuh pada tahun 1874. Cut Nyak Dhien dan bayinya akhirnya mengungsi bersama ibu-ibu dan rombongan lainnya pada tanggal 24 Desember 1875. Suaminya selanjutnya bertempur untuk merebut kembali daerah VI Mukim.

Kematian Ibrahim Lamnga

Ketika Ibrahim Lamnga bertempur di Gle Tarum, ia tewas pada tanggal 29 Juni 1878. Hal ini membuat Cut Nyak Dhien sangat marah dan bersumpah akan menghancurkan Belanda.

Pernikahan dengan Teuku Umar

Setelah itu, Teuku Umar, tokoh pejuang Aceh, melamar Cut Nyak Dhien. Pada awalnya Cut Nyak Dhien menolak, namun, karena Teuku Umar mempersilahkannya untuk ikut bertempur dalam medan perang, Cut Nyak Dien akhirnya menerimanya dan menikah lagi dengan Teuku Umar pada tahun 1880. Hal ini membuat meningkatnya moral semangat perjuangan Aceh melawan Kapke Ulanda (Belanda Kafir). Nantinya, Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar memiliki anak yang bernama Cut Gambang.

Rencana Teuku Umar

Perang dilanjutkan secara gerilya dan dikobarkan perang fi'sabilillah. Sekitar tahun 1875, Teuku Umar melakukan gerakan dengan mendekati Belanda dan hubungannya dengan orang Belanda semakin kuat. Pada tanggal 30 September 1893, Teuku Umar dan pasukannya yang berjumlah 250 orang pergi ke Kutaraja dan menyerahkan diri kepada Belanda untuk menipu orang Belanda, sehingga saat mereka keluar dari hutan mereka berkata:“ Mereka menyadari mereka telah melakukan hal yang salah, sehingga mereka ingin membayar kembali kepada Belanda dengan menolong mereka menghancurkan perlawanan Aceh”


Belanda sangat senang karena musuh yang berbahaya mau membantu mereka, sehingga mereka memberikan Teuku Umar gelar Teuku Umar Johan Pahlawan dan menjadikannya komander unit pasukan Belanda dan kekuasaan penuh. Ia menyimpan rencana ini sebagai rahasia, walaupun dituduh sebagai penghianat oleh orang Aceh, bahkan, Cut Nyak Meutia datang menemui Cut Nyak Dhien dan memakinya. Cut Nyak Dien berusaha menasehatinya untuk kembali melawan Belanda, namun, ia masih terus berhubungan dengan Belanda. Teuku Umar mencoba untuk mempelajari taktik Belanda, sementara pelan-pelan mengganti sebanyak mungkin orang Belanda di unit yang ia kuasai menjadi unit Belanda yang merupakan gerilyawan Aceh. Ketika jumlah orang Aceh pada pasukan tersebut cukup, Teuku Umar melakukan rencana palsu pada orang Belanda dan mengklaim bahwa ia ingin menyerang basis Aceh.

Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien pergi dengan semua pasukan dan perlengkapan berat, senjata, dan amunisi Belanda, lalu tidak pernah kembali. Penghianatan ini disebut Het verraad van Teukoe Oemar (penghianatan Teuku Umar).

Reaksi Belanda

Teuku Umar yang menghianati Belanda menyebabkan Belanda marah dan meluncurkan operasi besar-besaran untuk menangkap baik Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar. Namun, gerilyawan kini dilengkapi perlengkapan terbaik dari Belanda dan mengembalikan identitasnya menjadi pasukan gerilyawan dan menyerang Belanda ketika jendral Van Swieten diganti, dipermalukan dan dihina. Penggantinya, jendral Pel, dengan cepat terbunuh dan pasukan Belanda berada pada kekacauan pada pertama kalinya.Selain itu, Belanda mencabut gelar Teuku Umar dan membakar rumahnya, dan juga mengejar keberadaannya.


Pembantaian Jendral Van Der Heyden

Dien dan Umar menekan Belanda dan menduduki Banda Aceh (Kutaraja) dan Meulaboh (bekas basis Teuku Umar) dan Belanda terus-terusan mengganti jendral yang bertugas.Pasukan gerilyawan kuat yang dilatih dan dibuat dan memimpil hal ini sukses. Sejarah yang mengerikan bagi orang Belanda terus terjadi, tetapi, jendral Van Der Heyden ditugaskan dan tidak pernah dilupakan oleh orang Aceh. Pembantaian yang berdarah dilakukan terhadap laki-laki, wanita dan anak-anak pada desa, ketika jendral Van Der Heyden masuk kedalam unit "De Marsose". Mereka dianggap biadab oleh orang Aceh dan sangat sulit ditaklukan, selain itu, kebanyakan pasukan "De Marsose" merupakan orang Tionghoa-Ambon yang menghancurkan semua yang ada di jalannya, termasuk rumah dan orang-orang.Akibat dari hal ini, pasukan Belanda merasa simpati kepada orang Aceh dan Van Der Heyden membubarkan unit "De Marsose".Peristiwa ini juga menyebabkan kesuksesan jendral selanjutnya karena banyak orang yang tidak ikut melakukan Jihad kehilangan nyawa mereka, dan ketakutan amsih tetap ada pada populasi Aceh.

Kematian Teuku Umar

Jendral Van Heutz memanfaatkan ketakutan ini dan mulai menyewa orang Aceh untuk memata-matai pasukan pemberontak sebagai informan sehingga Belanda menemukan rencana Teuku Umar untuk menyerang Meulaboh pada tanggal 11 Februari 1899, dan akhirnya, Teuku Umar gugur tertembak peluru. Hal ini diketahui karena diinformasikan oleh informan yang bernama Teuku Leubeh.Ketika Cut Gambang, anak Cut Nyak Dhien mendengar kematian ayahnya, ia ditampar oleh ibunya yang lalu memeluknya dan Dien berkata:“ Sebagai wanita Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah "Shaheed" ”


Bertempur bersama pasukan kecil

Akibat kematian suaminya, Cut Nyak Dien memimpin perlawanan melawan Belanda di daerah pedalaman Meulaboh bersama pasukan kecilnya dan mencoba melupakan suaminya. Pasukan ini terus bertempur sampai kehancurannya pada tahun 1901 dan berisi laki-laki dan wanita karena tentara Belanda sudah terbiasa berperang di medan daerah Aceh, selain itu, Cut Nyak Dien semakin tua. Matanya sudah mulai rabun, dan ia terkena penyakit encok dan juga jumlah pasukannya terus berkurang, serta sulitnya memperoleh makanan. Hal ini membuat iba para pasukan-pasukannya, termasuk salah satu pasukannya bernama Pang Laot Ali yang melaporkan lokasi markas Cut Nyak Dien pada Belanda karena iba, selain itu, agar Belanda mau memberinya perawatan medis dan membawa Belanda ke markas Cut Nyak Dhien di Beutong Le Sageu.

Ditangkap Belanda

Anak buah Cut Nyak Dhien yang bernama Pang Laot melaporkan lokasi markasnya kepada Belanda sehingga Belanda menyerang markas Cut Nyak Dien di Beutong Le Sageu. Mereka terkejut dan bertempur mati-matian, dan Pang Karim, pasukannya berkata akan menjadi orang terakhir yang melindungi Dien sampai kematiannya.Akibat Cut Nyak Dhien memiliki penyakit rabun, ia tertangkap dan ia mengambil rencong dan mencoba untuk melawan musuh, namun aksinya berhasil dihentikan oleh Belanda. Ia ditangkap dan dibawa ke Banda Aceh. Ia dipindah ke Sumedang berdasarkan Surat Keputusan No 23 (Kolonial Verslag 1907 : 12). Cut Gambang berhasil melarikan diri ke hutan dan ia terus melanjutkan perlawanan yang sudah dilakukan ayah dan ibunya

Masa tua

Setelah ia ditangkap, ia dibawa ke Banda Aceh dan dirawat disitu. Penyakitnya seperti rabun dan encok berangsur-angsur sembuh. Belanda takut bahwa kehadirannya akan membuat semangat perlawanan, selain itu karena terus berhubungan dengan pejuang yang belum tunduk, akhirnya Belanda kesal, lalu ia dibuang ke Sumedang, Jawa Barat.

Dibuang di Sumedang

Ia dibawa Sumedang bersama dengan tahanan politik Aceh lainnya dan menarik perhatian bupati Suriaatmaja, selain itu, tahanan laki-laki juga mendemonstrasikan perhatian pada Cut Nyak Dhien, tetapi tentara Belanda dilarang mengungkapan identitas tahanan.[1] Sampai kematiannya, masyarakat Sumedang tidak tahu siapa Cut Nyak Dhien yang mereka sebut "Ibu Perbu" (Ratu).[6] Selama ia ditahan, ia ditahan bersama ulama bernama Ilyas yang segera menyadari bahwa Cut Nyak Dhien yang tidak dapat bicara bahasanya merupakan sarjana Islam, sehingga ia disebut Ibu Perbu.[1] Ia mengajar Al-Quran di Sumedang sampai kematiannya pada tanggal 8 November 1908. Ketika masyarakat Sumedang sudah beralih generasi dan gelar Ibu Perbu telah hilang, pada tahun 1960-an berdasarkan keterangan dari pemerintah Belanda, diketahui bahwa perempuan tersebut merupakan pahlawan dari Aceh yang diasingkan berdasarkan Surat Keputusan No 23 (Kolonial Verslag 1907 : 12).

Kematian

Setelah ia dipindah ke Sumedang, pada tanggal 6 November 1908, Cut Nyak Dhien meninggal karena usianya yang sudah tua. Makam "Ibu Perbu" baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh saat itu, Ali Hasan. Pada tahun 1960, orang lokal Sumedang yang mencari tahu kembali siapakah "Ibu Perbu", telah meninggal, namun, informasi datang dari surat resmi pemerintah Belanda pada "Nederland Indische", ditulis oleh Kolonial Verslag, bahwa "Ibu Perbu", pemimpin pemberontakan provinsi Aceh telah dibuang di Sumedang, Jawa Barat. Hanya terdapat satu tahanan politik wanita Aceh yang dikirim ke Sumedang, sehingga disadari bahwa Ibu Perbu adalah Cut Nyak Dhien, "Ratu Jihad" dan diakui oleh Presiden Soekarno sebagai Pahlawan Nasional Indonesia melalui SK Presiden RI No.106 Tahun 1964 pada tanggal 2 Mei 1964.

Makam Cut Nyak Dhien

Menurut penjaga makam, makam Cut Nyak Dhien baru ditemukan pada tahun 1959 berdasarkan permintaan Gubernur Aceh, Ali Hasan. Pencarian dilakukan berdasarkan data yang ditemukan di Belanda. Masyarakat Aceh di Sumedang sering menggelar acara sarasehan, dan pada acara tersebut, peserta berziarah ke makam Cut Nyak Dhien dengan jarak sekitar dua kilometer. Menurut pengurus makam, kumpulan masyarakat Aceh di Bandung sering menggelar acara tahunan dan melakukan ziarah setelah hari pertama Lebaran, selain itu, orang Aceh dari Jakarta melakukan acara Haul setiap bulan November

Makam Cut Nyak Dhien pertama kali dipugar pada 1987 dan dapat terlihat melalui monumen peringatan di dekat pintu masuk yang tertulis tentang peresmian makam yang ditandatangani Ibrahim Hasan, Gubernur Daerah Istimewa Aceh di Sumedang tanggal 7 Desember 1987. Makam Cut Nyak Dhien dikelilingi pagar besi yang ditanam bersama beson dengan luas 1.500 m2. Di belakang makam terdapat musholla dan di sebelah kiri makam terdapat banyak batu nissan yang dikatakan sebagai makam keluarga ulama besar dari Sumedang yang pernah dibuang ke Ambon yang bernama H. Sanusi, dan juga keluarga H. Sanusi merupakan pemilik tanah kompleks makam Cut Nyak Dhien.

Pada batu nissan Cut Nyak Dhien, tertulis riwayat hidupnya, tulisan bahasa Arab, Surat At Taubah dan Al Fajar serta hikayat cerita Aceh.

Gerakan Aceh Merdeka melakukan perlawanan di Aceh untuk merdeka dari Republik Indonesia sehingga mengurangi jumlah peziarah ke makam Cut Nyak Dhien, selain itu, daerah makam ini sepi akibat sering diawasi oleh aparat, bahkan tidak ada yang tahu letak makam Cut Nyak Dhien berada di Gunung Puyuh.

Kini, makam ini mendapat biaya perawatan dari kotak amal di daerah makam karena pemerintah Sumedang tidak memberikan dana.

Sumber : http://www.bluefame.com